Dengan nanar mataku memandang gunung di ujung persawahan. Hangat mentari masih terasa menusuk ke dalam tubuh kurusku. Jalanan tak begitu ramai kendaraan, tampak beberapa truk bermuatan menyalip mobil yang sedang kutumpangi.
Apa gunung tak marah ketika banyak manusia mendaki dirinya hanya untuk pamer di sosial media saja? Apa tikus sawah tak kesal ketika diburu dengan dipasangi setrum untuknya? Apa aspal jalanan tidak kesakitan saat truk besar menimpa di atasnya dengan ugal-ugalan? Ah, lagi (kembali), imajinasiku terus bertambah liar ketika melihat sebagian kecil ciptaan Tuhan.
"Tuhan, bagaimana jika seandainya kau jadikan aku gunung yang tak marah, tikus yang tak kesal, dan aspal yang tak terus-menerus mengeluh?"
Pikirku berkecamuk.
Dering ponsel membuyarkan lamunanku. Pikiranku terus berjalan, berpikir seolah harus ada pikiran yang ditelan otakku.
"Waalaikumsalam," sahutku dengan semangat (sedikit).
"Sedang apa?" Terdengar suara yang tidak asing di pendengaranku.
"Lagi di jalan. Duduk. Menghadap ke barat." Jawabku singkat(?).
Seseorang di seberang terdengar tertawa. Ah, tawa itu.
"Kenapa? Ada yang lucu?" Tanyaku dengan nada malas.
"Tidak. Tidak." (Mengapa tawanya berhenti?)
"Memangnya kamu sedang tidak sibuk?"
"Ini lagi sibuk. Sibuk menanyakan keadaanmu, hehehe." Candanya.
"Bicara begitu sekali lagi, aku matikan telefonnya." Ancamku.
"Jangan gitu," jawabnya terdengar serius. Aku menahan tawa, suaranya terdengar lucu.
"Eh, Tuan, bagaimana jika misalnya aku menjadi gunung?" Serius. Ketika mengatakan ini, pikirku kembali melayang. Muncul kembali imajinasi-imajinasi yang sempat kuhentikan.
"Gunung?"
"Iya,"
"Mengapa gunung, Puan?" Tanyanya.
"Entah saja, aku merasa kasihan pada gunung yang didaki berjuta orang, namun hanya beberapa orang saja yang benar-benar menghargai pencipta gunung. Lainnya? Bisa saja ada yang berniat mendaki untuk menikmati fajar atau senja saja, atau yang lebih parahnya, berfoto dan pamer di semua sosial media tanpa adanya rasa kesyukuran.".
Terdengar helaan napas berat di ponselku.
"Kamu, ya, aneh-aneh saja." Ucapnya pelan.
"Kalau aku tidak aneh, apa aku pantas menjadi puanmu? Hahaha." Tawaku terdengar di seantero mobil. Sekilas, beberapa kepala menoleh ke arahku. ("Kamu masih waras?).
"Puan, jadi gunung itu berat."
"Dari mananya?" Selaku.
"Beberapa orang yang mengaguminya tidak mampu menginjakkan kakinya di sana. Ada yang terhalang izin orang tua, terhalang sempitnya hari libur kerja, atau terhalang tidak adanya teman yang dapat diajak mendaki." Jelasnya.
Obrolan yang mulai serius, sedangkan sebentar lagi mobil yang kutumpangi harus sudah terparkir rapi di bawah pohon kersen.
"Tuan," ujarku memecah keheningan.
"Iya, Puan." Sahutnya dengan santai.
"Kamu semangat ya, kuliahnya."
"Iya, kamu juga semangat kerjanya." Balasnya.
"Bagaimanapun, manusia kalau hanya sekadar tidur-mandi-makan-tidur. Berasa mirip kelelawar. Seperti tidak ada bedanya."
"Iya, Puan. Susah, jadi manusia."
Kuakhiri panggilan beberapa menit itu.
Aku keluar mobil dengan perasaan lega. Benar, susah, jadi manusia.
Komentar
Posting Komentar